BAB II
SPONDILITIS TUBERKULOSIS
A.
Anatomi
Fisiologi
Kolumna vertebralis atau rangkaian
tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah
tulang yang disebut vertebra atau
ruas tulang belakang ( Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis
). Di bagian dalam tulang terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi
sumsum tulang belakang yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf
pusat. Saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti usus, jantung
dan lainnya.
Susunan anatomi atau struktur tulang
belakang terdiri dari :

a. Tujuh
vertebra servikal atau ruas tulang
bagian leher yang membentuk daerah tengkuk.
b. Dua
belas vertebra torakalis atau ruas
tulang punggung yang membentuk bagian belakang torax atau dada.
c. Lima
vertebra lumbalis atau ruas tulang
pinggang yang membentuk daerah lumbal atau pinggang.
d. Lima
vertebra sakralis atau ruas tulang
kelangkang yang membentuk sakrum atau
tulang kelangkang.
e. Empat
vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging atau ekor yang membentuk tulang
ekor.
Lengkung ruas tulang bagian leher
melengkung ke depan, lengkung ruas tulang dada ke arah belakang, daerah
pinggang melengkung ke depan dan pelvis atau kelangkang lengkungannya kearah
belakang.

Vertebra
servikalis atau ruas tulang leher adalah yang
paling kecil dibandingkan dengan ruas tulang lainnya, ciri dari ruas tulang
punggung adalah semakin ke bawah semakin membesar dilihat dari segi ukurannya
yang memuat persendian untuk tulang iga. Ruas tulang pinggang adalah yang terbesar
dibandingkan dengan badan vertebra
lainnya. Sakrum atau tulang
kelangkang terletak di bagian bawah tulang belakang dengan bentuk segitiga, dan
ruas tulang ekor terdiri dari 4 atau 5 vertebra
yang bergabung menjadi satu dan letaknya berada di bagian paling bawah dari
tulang belakang atau spine. Ruas-ruas
tulang belakang diikat oleh serabut yang dinamakan dengan ligamen.
Secara
anatomis setiap ruas
tulang belakang akan
terdiri dari dua bagian :
1.
Bagian depan
Bagian
ini struktur utamanya adalah badan tulang belakang (corpus vertebrae). Bagian
ini fungsi utamanya
adalah untuk menyangga
berat badan. Di
antara dua korpus
vertebra yang berdekatan dihubungkan
oleh struktur yang
disebut diskus intervertebralis yang bentuknya seperti
cakram, konsistensinya kenyal
dan berfungsi sebagai
peredam kejut (shock
absorber).
2.
Bagian belakang
Bagian
belakang dari ruas tulang belakang ini fungsinya untuk :
·
Memungkinkan terjadinya
pergerakan tulang belakang
itu sendiri. Hal
ini dimungkinkan oleh karena di bagian ini terdapat dua persendian.
·
Fungsi perlindungan,
oleh karena bagian
ini bentuknya seperti
cincin dari tulang yang
amat kuat dimana
di dalam lubang
di tengahnya terletak
sumsum tulang belakang (medulla
spinalis/spinal cord).
·
Fungsi stabilisasi.
Karena fungsi tulang
belakang untuk manusia
adalah sangat penting, maka
fungsi stabilisasi ini
juga penting sekali.
Fungsi ini didapat
oleh kuatnya persendian di
bagian belakang yang
diperkuat oleh adanya
ligamen dan otot-otot yang
sangat kuat. Kedua
struktur terakhir ini
menghubungkan tulang belakang baik
dari ruas ke
ruas yang berdekatan
maupun sepanjang tulang belakang mulai dari servikal sampai
kogsigeal.


Vaskularisasi kolumna
vertebralis
Arteria spinalis yang mengantar
darah kepada vertebra, adalah cabang dari :
·
Arteria vertebralis dan arteria servikalis ascendens di leher
·
Arteria interkostalis posterior di daerah thorakal
·
Arteria subkostalis dan arteria lumbalis di abdomen
·
Arteria iliolumbalis dan arteria sakralis lateralis
Arteria spinalis
memasuki foramen intervertebralis dan bercabang
menjadi cabang akhir dan cabang
radikular. Beberapa dari
cabang-cabang ini beranastomosis dengan
arteri-arteri medulla spinalis.
Vena spinalis membentuk
pleksus vena yang
meluas sepanjang kolumna
vertebralis, baik di sebelah dalam (pleksus venosi vertebralis
profundus) dan juga di sebelah luar (pleksus venosi vertebralis superficialis) kanalis
vertebralis. Vena basivertebralis terletak
dalam korpus vertebra.
B.
Definisi
Spondilitis Tuberculosis
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis
ekstra pulmonal yang bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan
oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang
vertebra sehingga dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia
(Tandiyo, 2010).
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga
dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat
kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang
selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus ditempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang ertama kali
menulis tentang penyakit ini dan menyatakan, bahwa terdapat hubungan antara
penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit
ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (pengantar ilmu bedah ortopedi)
Spondilitis tuberkulosa
atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan granulomatosa yg bersifat
kronis destruktif oleh Mycobacterium
tuberculosis.
Dikenal pula dengan nama Pott’s
disease of the spine atau tuberculous
vertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada
vertebra T8 - L3 dan paling jarang
pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus
vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis
TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling jarang
pada vertebra C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga
jarang menyerang arkus vertebra (Mansjoer, 2000).
Dari beberapa definisi spondilitis tuberjulosis dapat
disimpulkan bahwa Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis
berupa infeksi granulomatosis di
sebabkan oleh kuman
spesifik yaitu mycubacterium
tuberculosa yang mengenai
tulang vertebra.
C.
Klasifikasi
Spondilitis Tuberculosis
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus
vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada
orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.
Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada
bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai
tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps
vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan
deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat
spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi
karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya.
Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian
anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral
dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal
dari suplai darah vertebral.
4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal
karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan.
Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung
syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan
tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan
spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior.
Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi
diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Menurut
kumar membagi perjalanan penyakit ada lima stadium yaitu :
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada
dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan
berduplikasi membentuk oloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Kedaan ini
umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak
umumnya pada daerah sentral vertebrata.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium
implantasi, selanjutnya terjai destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang
ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini
terjadi destruksi yang masih, kolaps vertebra yang terbentuk masa kaseosa serta
pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat berebentuk sekuestrum serta kerusakan
diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama disebelah
depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis
tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10%
dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah
terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan
neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan
pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : terdapa
kelemahan pada anggota gerak bawah tai penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
Derajat III : terdapat
kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktifitas penderita
serta hipestesia atau anestesia.
Derajat IV : terjadi
gangguan saraf sensoris dan motoris ,disertai gangguan defekasi dan miksi.
Tuberkulosis paraplegi atau pott paraplegia dapat terjadi suara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang
masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses
paravetbral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif atau sembuh
terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh
pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tubrkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vesikuler vertebra. Derajat I –
III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi
kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus
bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.
D.
Etiologi Spondilitis Tuberculosis
Penyakit
ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling
sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, Tuberkulosis tulang
belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh,
90-95% disebabkan oleh mikrobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosis atipik. Walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab
sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium
africanum (penyebab
paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine
tubercle baccilus, ataupun
non-tuberculous mycobacteria (banyak
ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies
ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi
pola resistensi obat.
Mycobacterium
tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang
yang bersifat
acid-fastnon-motile dan tidak dapat
diwarnai dengan baik melalui cara yang
konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya.
Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8
minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium
tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
Lokalisai
spondilitis tuberkulosis terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal
atas, sehingga di duga aadanya infeksi sekunder dari suatu teberkulosis traktus
urinaris, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena peravertebralis.
E.
Patofisiologi
Spondilitis Tuberculosis
Basil TB masuk ke dalam tubuh
sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer,
karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi
secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan
tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik timbul dan
fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif
atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit
tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra.
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal
dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus
intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus
ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda
dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan,
tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya (Alfarisi, 2011)
Kemudian eksudat (yang
terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil
tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan
mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus
ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang
lemah (Alfarisi, 2011).
Pada daerah servikal,
eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di
belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke
depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses
dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum
pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul
paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus
psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat
juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti
pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea (Qittun, 2008)
Abses tuberkulosis
biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi yang
paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan antara yang
menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra
torakalis X sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan
mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla
spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal VIII
sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan
paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif
antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis
mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis X, sedang kanalis
vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis I, kanalis
vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak
bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan
mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal.
Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4
faktor yaitu (Mclain et al., 2004):
1. Penekanan oleh abses dingin
2. Iskemia akibat penekanan
pada arteri spinalis
3. Terjadinya endarteritis
tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4. Penyempitan kanalis spinalis
akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.

F.
Manifestasi
Klinis Spondilitis Tuberculosis
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses destruksi
lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis,
atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula
spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia
inferior kedua tungkai yang bersifat
UMN dan adanya batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian, 2005).
Secara klinik gejala
tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada
umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun,
suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada
punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. Pada
awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian
diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas,
klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral (Hidalgo, 2006).
Pada stadium awal belum
ditemukan deformitas tulang vertebra dan belum terdapat nyeri ketok pada
vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan
spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang
lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk
akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis,
ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah
adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda
defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas (Craig, 2009).
Pada tuberkulosis vertebra
servikal dapat ditemukan nyeri dan kekakuan di daerah belakang kepala, gangguan
menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat
pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang
muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang
dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat (Wheeles, 2011).
G.
Penatalaksanaan
Medis dan Keperawatan Pasien Spondilitis Tuberculosis
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan
segera untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi
paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pott’s paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).
Pengobatan pada
spondilitis tuberkulosa terdiri dari :
Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi
gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
Pengobatan
TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif

‘[
Tahap Lanjutan
Pada
tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam jangka
waktu yang lebih lama.

PADUAN OAT DI INDONESIA
WHO
dan IUATLD ( Internatioal Union Against Tuberculosis and lung Disease )
merekomendasikan paduan OAT Standar
Yaitu
:
Kategori 1 :
·
2HRZE / 4 H3R3
·
2HRZE / 4 HR
·
2HrZE / 6 HE
Kategori 2:
·
2HRZES / HRZE /5H3R3E3
·
2HRZES / HRZE / 5HRE
Kategori
3:
·
2HRZ / 4H3R3
·
2 HRZ / 4 HR
·
2HRZ / 6 HE
Program
Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT
Kategori
1 : 2 HRZE / 4H3R3
Kategori 2 :
2HRZES / HRZE / 5H3R3E3
Kategori
3 : 2 HRZ / 4H3R3
Disamping
ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan ( HRZE )
Paduan
OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam
pemberian obat dan menjamin kelangsungan
( kontinuitas ) pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu ( 1)
penderita dalam satu (1) masa
pengobatan.
a) Kategori
-1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap
intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan
Etambutol ( E ) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE
). Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H)
dan Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali
dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat
ini diberikan untuk :
·
Penderita baru TBC Paru
BTA Positif
·
Penderita TBC Paru BTA
negatif Rontgen positif yang “ sakit berat “ dan
·
Penderita TBC Ekstra
Paru berat.
Tabel : Panduan OAT
Kategori 1
Tahap
pengobatan
|
Lamanya
Pengobatan
|
Dosis
Per hari / Kali
|
||||
Tablet
Isoniasid
@300mg
|
Kaplet
Rifampisin
@
450 mg
|
Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg
|
Tablet
Etambutol
@
250 mg
|
Jumlah
hari /kali menelan
obat’
|
||
Tahap Intensi
osis harian)
|
2 Bulan
|
1
|
1
|
3
|
3
|
60
|
Tahap
lanjutan
( Dosis 3 X
seminggu )
|
2 Bulan
|
2
|
1
|
-
|
-
|
54
|
Keterangan
: dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg
Satu
paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60
blister HRZE untuk tahap intensif dan 54 blister HRH untuk tahap lanjutan masing-masing
dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.
b) Kategori –2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )
Tahap
intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (
H) , Rifampisin ( R), Pirasinamid ( Z ),dan Etambutol ( E) setiap hari .
Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu.
Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita
selesai menelan obat.
Obat
ini diberikan untuk :
·
Penderita kambuh (
relaps )
·
Penderita Gagal (
failure )
·
Penderita dengan
Pengobatan setelah lalai ( after default )
Tabel 2 : Paduan OAT
Kategori 2
Tahap
|
Lamanya
Pengobatan
|
Tablet
Isoniasid
@300mg
|
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
|
Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg
|
Etambutol
|
Strepto-misin
Injeksi
|
Jumlah
Hari / Kali
Menelan
Obat
|
|
Tablet @250
mg
|
Tablet @500
mg
|
|||||||
Tahap
Intensif
(dosis
harian)
|
2 bulan
1 bulan
|
1
1
|
1
1
|
3
3
|
3
3
|
-
-
|
0,75 gr
|
60
30
|
Tahap
Lanjutan
(dosis 3 x
seminggu)
|
5 bulan
|
2
|
1
|
-
|
1
|
2
|
-
|
66
|
Keterangan
: dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg
Satu
paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90
blister HRZE untuk tahap intensif dan 66 blister HRE untuk tahap lanjutan masing-masing
dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar disamping itu disediakan 30 vial streptomicin @ 1,5 gr dan
pelengkap pengobatan ( 60 spuit dan aquabidest ) untuk tahap intensif.
c)
Kategori –3 ( 2HRZ / 4H3R3 )
Tahap
intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ )
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari
HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu ( 4H3R3 ).
Obat
ini diberikan untuk :
- Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
- Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis ) pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit , tbc tulang ( kecuali tulang belakang ) sendi dan kelenjar aderenal.
Tabel 3 : Paduan OAT
Kategori 3
Tahap
Pengobatan
|
Lamanya
Pengobatan
|
Tablet
Isoniadid
@
300mg
|
Kaplet
Rifampisin
@
450 mg
|
Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg
|
Jumlah
hari
menelan
obat
|
Tahap intensif (dosis harian)
|
2 bulan
|
1
|
1
|
3
|
60
|
Tahap Lanjutan (dosis 3x
seminggu )
|
4 bulan
|
2
|
1
|
-
|
54
|
Keterangan : dosis tersebut diatas untuk
penderita dengan BB antara 33-50 kg
Satu
paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60
blister HRZ untuk tahap intensif dan 54 bliter
HR untuk tahap lanjutan masing masing di kemas dalam dos kecil dan
disatukan dalam 1 dos besar
d)
OAT SISIPAN ( HRZE )
Bila
pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori
1 atau penderita BTA positif pengobatan
ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan
obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan
Tabel 4 : Paduan OAT Sisipan
Tahap
pengobatan
|
Lamanya
Pengobatan
|
Tablet
Isponiasid
@ 300 mg
|
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
|
Tablet
Pirasnandi
@ 500 mg
|
Tablet
Etambutol
@ 250 mg
|
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
|
Tahap Intensif
(dosis harian)
|
1 bulan
|
1
|
1
|
3
|
3
|
30
|
Keterangan
dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33 – 50 kg
Satu
paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil
Terapi Operatif
1. Apabila dengan terapi konservatif
tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3 minggu
sebelum operasi, penderita diberikan obat tuberkulostatik.
2. Adanya abses yang besar sehingga
diperlukan drainase abses secara terbuka, debrideman, dan bone graft.
3. Pada pemeriksaan radiologis baik foto
polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis
(Ombregt, 2005).
Walaupun
pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis
tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam beberapa hal
seperti apabila terdapat cold absces
(abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
a. Cold
abscess
Cold absces yang kecil tidak
memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian
tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
b. Lesi tuberkulosa
1) Debrideman fokal.
2) Kosto-transveresektomi.
3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c. Kifosis
1) Pengobatan dengan kemoterapi.
2) Laminektomi.
3) Kosto-transveresektomi.
4) Operasi radikal.
5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari
belakang.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis
bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif berupa
fusi posterior atau operasi radikal
H.
Pemeriksaan
Diagnostik Spondilitis
Tuberculosis
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
antara lain:
1. Pemeriksaan Laboratorium
• Peningkatan laju endap darah (LED) dan
mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji
tapis. Newanda (2009) melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis
didapatkan 33% anak dengan laju endap darah yang normal.
• Uji Mantoux positif
• Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan
biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
• Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe
regional.
• Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan
tuberkel
• Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan
hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses dingin yang merambat ke
daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test
Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin
yaitu kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat
secara spontan membeku.
• Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 %
dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan
abses.
• Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi
antibodi spesifik dalam sirkulasi.
• Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked
Immunoadsorbent Assay) dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi
pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada
populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga
sulit mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.
• Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction
(PCR) masih terus dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA, amplifikasi
menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat
diidentifikasi dengan gel. Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl
Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter spesimen, sedangkan kultur
membutuhkan 10 basil permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan
pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan
diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu
sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC (Becton Dickinson
Diagnostic Instrument System). Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan
dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain,
masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif
maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda,
2009).
2. Pemeriksaan Radiologis
a.
Foto
Thoracolumbal
Pemeriksaan radiologis merupakan suatu
pencitraan yang ideal harus dapat memberikan keterangan mengenai:
•
Jumlah vertebra yang terlibat,
sudut kifosis yang terjadi
•
Seberapa jauh destruksi tulang
telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna anterior atau sudah mencapai
kolumna posterior
•
Ada tidaknya keterlibatan
jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan sekuesterisasi diskus
interverbralis
•
Ada tidaknya kompresi medula
spinalis dan tingkat keseriusannya
·
Pemeriksaan foto toraks untuk
melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosa banding penyakit yang lain
·
Foto polos vertebra, ditemukan
osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan
discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat
ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral
di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal
berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada
stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis
(Newanda, 2009).

Gambar
3.1 Destruksi vertebra disertai kiphosis (Craig,
2009)
·
Dekalsifikasi suatu korpus
vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu kaverne
dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut
suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi,
sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis
daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah
suatu Gibbus pada tulang belakang itu (Craig, 2009).

Gambar 3.2 Gambaran Gibbus pada tulang belakang (Craig, 2009)
·
“Dekplate” korpus vertebra itu
akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
·
Diskus Intervertebrale akan
tampak menyempit.
·
Abses dingin.
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang
berbentuk kumparan (“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada
vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2 (Newanda, 2009)

Gambar 3.3 Seorang laki-laki dengan
spondylitis tuberkulosa mengalami low back pain (LBP) selama 5 bulan. Gambaran
radiografi Anteroposterior (A)
dan lateral (B) menunjukkan adanya
destrukdi corpus vertebra lumbal ! dan II dengan hilangnya discus
intervertebralis. Destruksi corpus vertebra terletak pada bagian anterior
corpus, yang menyebabkan deformitas khas berupa gibbus. Terdapat sklerosis
reaktif yang merupakan ciri khas dari infeksi tuberkulosa (Shanley, 1995)

Gambar 3.4 Anak laki-laki berusia 5
tahun dengan infeksi tuberculosis pada vertebra thoracalis. Gambaran radiografi
lateral pada corpus vertebra thoracalis menunjukkan destruksi total dari corpus
vertebra thoracalis VI yang menyebabkan deformitas plana pada vertebra. Diskus
intervertebralis yang berdekatan tidak tervisualisasi dengan baik. Terdapat
pula destruksi dari corpus vertebra thoracalis VII bagian anterior dan
posterior sehingga menyebabkan deformitas gibbus (Shanley, 1995)

Gambar 3.5 Seorang laki-laki berusia 43
tahun dengan tuberculosis spinal. A. gambaran
radiografi lateral dari vertebra lumbal menunjukkan erosi fokal (tanda panah)
pada aspek antero-superior dari corpus vertebra lumbal IV. Subtle erosion juga terdapat pada endplate vertebra lumbal III
antero-inferior. B. gambaran
radiografi didapat 3 bulan sebelumnya menunjukkan perubahan erosi pada corpus
vertebra, sklerosis pada end plate vertebra, hilangnya discus intervertebralis
yang berdekatan, tampak suatu massa jaringan lunak pada bagian anterior (tanda
panah), dan ada pembentukan gibbus awal (Shanley, 1995).

Gambar 3.6 Pria berusia 18 tahun dengan
abses paraspinal tuberkulosa. Gambaran radiografi thorax menunjukkan fusiform soft-tissue swelling (tanda
panah) pada regio thorax bawah yang menunjukkan adanya abses tuberkulosa
paraspinal (Shanley, 1995).
b.
Pemeriksaaan CT-scan
CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan
mendeteksi lesi lebih dini dibandingkan foto polos. Pada suatu penelitian,
didapatkan 25% penderita memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT scan
dan MRI. CT scan secara efektif dapat melihat kalsifikasi pada abses jaringan
lunak. Selain itu CT scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi
(Newanda, 2009).
Lesi terlihat osteolitik iregular, bermula pada korpus dan
kemudian menyebar sehingga vertebra kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam
vertebra yang hancur. CT scan dapat menggambarkan keterlibatan elemen posterior
bilateral akan berakibat instabilitas tulang belakang sehingga tindakan
operatif merupakan indikasi dan prosedur anterior strut grafting mungkin tidak
adekuat sehingga dibutuhkan instrumentasi posterior (Newanda, 2009).
o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara
lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan
sirkumferensi tulang.
o
Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih) (Newanda, 2009).
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih) (Newanda, 2009).

Gambar 3.7 Pria berusia 42 tahun dengan
infeksi tuberkulosa pada sacrum. Unenhanced
CT scan dari pelvis menunjukkan destruksi dari bagian anterior sacrum dan
abses tuberkulosa luas pada presacral (tanda panah putih). Terdapat pula
sequestrum (tanda panah hitam (Shanley, 1995)

Gambar 3.8 Pria berusia 45 tahun dengan
tuberculosis yang melibatkan vertebra thoracalis. A. Gambaran posterior dari whole-body
CT scan menunjukkan peningkatan uptake radionuclide pada vertebra
thoracalis bagian tengah dan bawah. B. Axial single-photon emission CT scan menunjukkan
keterlibatan corpus vertebra dan meluas sampai bagian posterior (tanda panah)
yang tidak tampak pada foto polos (Shanley, 1995).

Gambar 3.9 Laki-laki berusia 43 tahun
dengan tuberculosis spinal. Pada CT scan dengan kontras abdomen menunjuuka
destruksi litik pada bagian anterior dari corpus vertebra lumal I (tanda panah
hitam) dan pembentukan abses pada paraspinal terdekat dan psoas kanan (tanda
panah putih) (Shanley, 1995).

Gambar 3.10 Laki-laki berusia 42 tahun
dengan spondylitis tuberculosis. Unenhanced
CT scan dari spine menunjukkan destruksi dan fragmentasi dari corpus
vertebra lumbal I. Abses interosseosa meluas sampai ke bagian posterior (tanda
panah), menyebabkan perluasan minimal pada saccus thecal (Shanley, 1995).

Gambar
3.11 Laki-laki 33 tahun
dengan spinal tuberculosis. Gambar A, Terdapat penyengatan kontras pada CT-scan
abdomen dengan teknik bone window menunjukkan cloaca (panah) di bagian
anterolateral dari corpus vertebrae thorax XII. Gambar B, Gambaran CT-scan
beberapa sentimeter di bagian caudal dari gambar A menunjukkan abses besar pada
muskulus psoas kiri yang disebabkan oleh dekompresi spontan abses T12
intraosseous. Gambar C, CT-scan yang melalui bagian bawah dada menunjukkan
efusi pleura kiri yang besar dan atelektasis lobus bawah kiri. Efusi ini
disebabkan oleh perluasan cephalic dari rupture dan abses paraspinal ke dalam
rongga pleura kiri (Shanley, 1995)
.

Gambar
3.12 Gambar 6, laki-laki
usia 43 tahun dengan spinal tuberculosis. Penyengatan kontras CT-scan abdomen
menunjukkan destruksi litik dari bagian anterior corpus vertebrae lumbal I
(panah hitam) dan pembentukan abses di psoas kanan dan paraspinal. Gambar 7,
laki-laki 42 tahun dengan spondilitis tuberkulosa. CT-scan tanpa penyengatan
spina menunjukkan destruksi dan fragmentasi dari corpus vertebrae lumbal I.
Terdapat perluasan posterior dari abses intraosseus (panah) yang menghasilkan
gangguan ringan pada saccus thecal (Shanley, 1995)
c.
Pemeriksaan MRI
Kelebihan MRI adalah kemampuannya dalam proyeksi multiplanar
dan dalam spesifitas terutama jaringan lunak yang dapat ditampilkan lebih baik
sehingga dapat mendeteksi lesi lebih awal dan lebih menyeluruh (Newanda, 2009).
Pada MRI akan ditemui penurunan intensitas sinyal fokus
infeksi pada gambaran T1-weighted dan peningkatan sinyal yang heterogen pada
gambaran T2-weighted. Pada pemberian kontras infeksi tuberkulosis
memperlihatkan penyangatan inhomogen pada infiltrasi sumsum tulang dengan tepi
lesi menyangat. Abses tuberkulosis pada pemberian kontras akan memperlihatkan
penyangatan perifer dengan nekrosis sentral. Keterlibatan diskus invertebralis
sebagian besar akan menampilkan gambran klasik diskitis berupa peningkatan
singal pada gambaran T2-weighted, penurunan sinyal pada gambaran T1-weighted
dan menyangat setelah pemberian kontras (Newanda, 2009).
MRI menggambarkan perluasan infeksi paling baik dan dapat
memperlihatkan penyebaran granuloma tuberkulosis di bawah ligamentum
longitudinal anterior dan posterior. MRI dapat membedakan jaringan patologis
yang mengakibatkan penekanan pada struktur neurologis. Hal ini penting karena
intervensi bedah dibutuhkan pada defisit neurologis yang disebabkan penekanan
oleh deformitas tulang berupa kifosis atau oleh konstriksi akibat fibrosis di
sekeliling kanalis neuralis ((Newanda, 2009)).
Mehta mengajukan klasifikasi tuberkulosis vertebra torakal
berdasarkan ekstensi lesi yang terlihat pada MRI untuk perencanaan strategi
pembedahan.
• Mengevaluasi infeksi
diskus intervertebrata dan osteomielitis tulang belakang.
• Menunjukkan adanya
penekanan saraf.
Dilaporkan 25 % dari
pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT-Scan dan MRI yang
lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT-Scan efektif
mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT-Scan dapat
digunakan untuk memandu prosedur biopsy (Newanda, 2009).

Gambar
3.13 Terdapat keterlibatan
endplate anterior dan pelebaran diskus intervertebrae dan corpus vertebrae
posterior. Pemeriksaan MRI ini dapat menunjukkan pembentukan abses dan metode
terbaik untuk menunjukkan kompresi saraf tulang belakang dan akar saraf (Craig,
2009)

Gambar
3.14 Seorang laki-laki 41
tahun dengan spinal tuberculosis. Gambar A, MRI potongan sagital T1-weighted
enhanced menunjukkan peningkatan secara luas dalam corpus vertebrae thorax VIII
yang disebabkan infeksi tuberkulosa. Abses intraosseus dalam corpus vertebrae
thorax IX menunjukkan penebalan lingkar dari penyangatan. Terdapat penyangatan
dari abses epidural dan perluasan bagian cephalic dan caudal secara jelas tergambar
dengan penggunaan kontras. Gambar B, MRI potongan coronal T1 weighted (600/11)
enhanced dari spina thorak menunjukkan ketebalan lingkar dari penyangatan
disekitar abses intraosseous. Abses paraspinal kecil terlihat secara bilateral
(panah) (Shanley, 1995).

Gambar
3.15 Anak laki-laki usia 5
tahun dengan spinal tuberculosis. MRI potongan sagital T2 weighted yang
berdekatan menunjukkan 2 level dari infeksi tuberkulosa. Adanya gibbus pada
region thorax atas karena destruksi lengkap dan kolaps dari corpus vertebrae
thorax VI. Corpus vertebrae VII sebagian hancur dan bersudut serta ruang diskus
intervertebralis sulit tervisualisasi. Adanya kolaps dan penyudutan dari corpus
vertebrae lumbal IV pada setengah bagian anterior dengan penyempitan diskus intervertebralis
yang berdekatan. Corpus vertebrae lumbal V menunjukkan peningkatan sinyal yang
disebabkan oleh infeksi tuberkulosa. Kanalis medulla spinalis terganggu secara
minimal pada kedua level (Shanley, 1995).

Gambar 3.16 Laki-laki 45 tahun dengan spinal tuberculosis.
Gambar A MRI potongan sagital T1 weight menunjukkan
penurunan sinyal pada corpus vertebrae thorax bagian bawah (T8-T11). Destruksi
endplate vertebrae dan keterlibatan diskus intervertebralis juga terdapat pada
level ini. Abses paraspinal terlihat meluas secara anterior dan posterior ke
ruang epidural dan mengganggu saccus thecal. Gambar B dan C, MRI potongan
sagital proton densitas weighted (A) dan T2 weighted dari spina thoraks
menunjukkan peningkatan intensitas sinyal dalam corpus vertebrae dan ruang
diskus intervertebralis. Perluasan abses paraspinal secara anterior tervisualisasi lebih baik pada proton
densitas weighted dan T2 weighted dibandingkan T1 weighted. Abses epidural
tidak tergambar baik pada T2 weighted image karena intensitas sinyal tinggi
dari CSF (Shanley, 1995).

Gambar
3.17 Laki-laki 45 tahun
dengan spinal tuberculosis. MRI axial enhanced T1 weighted pada corpus
vertebrae thorax IX menunjukkan ketebalan lingkar dari penyangatan disekitar
abses intraosseus. Lingkar penyangatan juga terdapat disekitar abses paraspinal
(panah). Penyangatan abses epidural (panah) terlihat penekanan sacus thecal
(Shanley, 1995).

Gambar 3.18, Gambar A, Anak perempuan usia 3 tahun dengan
tuberculosis spinal dan paru. MRI potongan coronal enhanced T1- weighted dari
spina menunjukkan perluasan abses paraspinal. Penyebaran infeksi subligamental
dan abses intraosseus tervisualisasi baik pada pencitraan coronal ini. Adanya
infiltrate tuberkulosa pada lobus atas kiri. Gambar B, Laki-laki 42 tahun
dengan tuberkulosa spinal. Pada MRI potongan sagital T2 weighted fast spin-echo
menunjukkan peningkatan sinyal dalam corpus vertebrae lumbal I yang disebabkan
oleh infeksi tuberkulosa. Adanya gangguan margo anterosuperior dari corpus
vertebrae menghasilkan abses paraspinal dan penyebaran subligamen secara
anterior. Penurunan intensitas sinyal dan penyempitan diskus intervertebralis
Thorax XII-Lumbal I yang disebabkan penetrasi dari infeksi melalui diskus.
Adanya abses intraosseus pada corpus vertebrae lumbal IV. Gambar 3, Laki-laki
45 tahun dengan riwayat tuberkulosa spinal. MRI potongan sagital contiguous T1
weighted yang didapat postoperative menunjukkan cangkokan fibular autolog.
Abses intraosseus tuberkulosa multiple didrainase dan dibersihkan selama operasi
sebelum penempatan cangkok dan stabilisasi spinal. Canalis spinalis
tervisualisasi baik dan tidak ada compromised (Shanley, 1995).

Gambar 3.19 Tuberkulosis spondilitis dari thorax VIII-IX (a, b,
c). MRI pada spina thorax pada wanita usia 58 tahun dengan adanya nyeri
pinggang. (a) potongan sagital pre-gadolinum T1-weighted. (b) Potongan sagital
T2-weighted. (c) Potongan sagital post-gadolinum T1-weighted menunjukkan pola
tipical dari kerusakan corpus vertebrae dengan keterlibatan diskus, intensitas sinyal
tinggi linear dari diskus pada T2-weighted image tervisualisasi baik (panah
putih). Setelah pemberian gadolinium, terdapat penyangatan dari vertebrae
bagian posterior, linkar diskus intervertebralis yang irregular (panah putih),
dan kolaps dari vertebrae thorax VIII (Danchaivijitr, 2007)
3. Bakteriologis
Kultur
kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan yang dihadapi
saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis secara
mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen dengan
jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-Nielsen
membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103
basil per mililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan
bakteriologis adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh
setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.
Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson Diagnostic Intrument
System). Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.
Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya
harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat radioaktif. Untuk itu
dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).
Pada negara di mana terdapat prevalensi
tuberkulosis yang tinggi atau tidak terdapat sarana medis yang mencukupi,
penderita dengan gambaran klinis dan radiologis yang sugestif spondilitis
tuberkulosis tidak perlu dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosis dan
memulai pengobatan (Newanda, 2009).
4. Histopatologis
Infeksi tuberkulosis pada jaringan akan
menginduksi reaksi radang granulomatosis dan nekrosis yang cukup karakteristik
sehingga dapat membantu penegakan diagnosis. Ditemukannya tuberkel yang
dibentuk oleh sel epiteloid, giant cell dan limfosit disertai nekrosis
pengkejuan di sentral memberikan nilai diagnostik paling tinggi dibandingkan
temuan histopatologis lainnnya. Gambaran histopatologis berupa tuberkel saja
harus dihubungkan dengan penemuan klinis dan radiologis (Newanda, 2009).
I.
Komplikasi
Spondilitis Tuberculosis
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis
tuberkulosa yaitu:
1.
Pott’s paraplegia
·
Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural
oleh pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis.
Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula
spinalis dan saraf.
·
Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh
terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang
(ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
·
Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke
dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis.
·
Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot
iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
3.
Cedera
corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat
juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi
tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi
sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena
invasi dura dan corda spinalis.
J.
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Spondilitis
Tuberculosis
1.
Data Fokus
Data Subjektif
|
Data Objektif
|
1.
Klien
mengatakan nyeri hebat pada tulang belakang yang dirasa sejak 3 bulan
terakhir
2.
Klien
mengatakan awalnya keluhan tidak dihiraukannya, tetapi lama kelamaan dirasa
bertambah parah
3.
Klien
mengatakan nyeri bertambah pada saat istirahat dan berkurang bila olahraga
4.
Klien
mengatakan keluhan disertai lelah, demam, nafsu makan kurang, batuk, kedua
tungkai bawah terasa lemah, dan badan makin membungkuk
5.
Klien
mengatakan 2 minggu yang lalu klien merasa sesak, batuk makin berat, dan
keluhan lain bertambah parah.
6.
Klien
mengatakan bahwa klien bekerja sebagai kuli bangunan
7.
Klien
mengatakan tinggal di tempat yang padat dan kumuh serta ventilasi yang kurang
8.
Klien
mengatakan pernah berobat kepuskesmas, tetapi hanya diberikan obat analgesik
dan antipiretik, dan keluhannya dirasa hanya membaik sementara
|
1.
Kesadaran
klien composmentis
2.
Klien
tampak sakit berat
3.
Klien
tampak kurus
4.
TB:
170 cm, BB: 49 kg
5.
TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80
mmHg
6.
Pada
pemeriksaan fisik ditemukan:
·
Kepala:
dbn
·
Thorax:
simetris, deformitas (-), luka (-)
·
Cor:
dbn
·
Pulmo:
vbs, ronchi (+), wheezing (-)
·
Abdomen:
dbn
·
Ekstremitas:
tungkai bawah paralisis
·
Pada
inspeksi terlihat adanya kifosis pada vertebra
·
Pada
palpasi dirasakan tulang belakang keropos (loss bone)
7.
Pada
pemeriksaan lab ditemukan:
·
Hb:
12 gr/dl
·
Leukosit:
17.000 ul
·
LED:
meningkat (110mm/jam)
·
Mantoux
test: positif
8.
Pada
pemeriksaan diagnostik ditemukan:
·
Foto
thorax: corakan paru bertambah
·
Pemeriksaan
rontgen: diskus menyempit, lose bone pada tulang anterior, adanya gibus dan
deformitas
|
Data Tambahan
|
|
Data Subjektif
|
Data Objektif
|
1.
Kemungkinan
klien mengatakan kesulitan mengeluarkan dahak
2.
Kemungkinan
klien mengatakan sering keluar keringat pada malam hari
3.
Kemungkinan
klien mengatakan adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak
disertai nyeri dada.
|
1.
Kemungkinan
ditemukan klien tampak batuk tidak efektif
2.
Kemungkinan
ditemukan pasien terlihat gelisah
3.
Kemungkinan
ditemukan sputum berwarna hijau kekuningan
4.
Kemungkinan
ditemukan langkah kaki klien terlihat pendek karena mencoba menghindari nyeri
5.
Kemungkinan
ditemukan klien menggerakkan kakinya bila berbalik, bukan mengayunkan dari
sendi panggulnya.
6.
Kemungkinan
ditemukan klien menekuk lututnya saat mengambil sesuatu dari lantai dan tetap
mempertahankan panggulnya tetap kaku
7.
Kemungkinan
ditemukan makanan klien hanya setengah porsi yang dihabiskan
8.
Pada
pemeriksaan lab kemungkinan ditemukan:
·
Mikrobiologi
(dari jaringan tulang/abses): Bakteri tahan asam (+)
9.
Pada
pemeriksaan diagnostik kemungkinan ditemukan:
·
X-Ray:
destruksi korpus vertebra bagian anterior, peningkatan wedging anterior
·
CT
scan :
-
lesi lytic irregular, kolaps
disk dan kerusakan tulang
-
abses jaringan lunak
·
MRI
-
infeksi disk space, menunjukkan
perluasan penyakit ke dalam jaringan
lunak dan penyebaran debris tuberkulosis di bawah ligamen longitudinalis
anterior dan posterior
-
kompresi neural
|
2.
Analisa data
No
|
Data
|
Masalah
|
Etiologi
|
1.
|
DS:
1.
Klien
mengatakan nyeri hebat pada tulang belakang yang dirasa sejak 3 bulan
terakhir
2.
Klien
mengatakan awalnya keluhan tidak dihiraukannya, tetapi lama kelamaan dirasa
bertambah parah
3.
Klien
mengatakan nyeri bertambah pada saat istirahat dan berkurang bila olahraga
4.
Klien
mengatakan keluhan disertai lelah, demam, nafsu makan kurang, batuk, kedua
tungkai bawah terasa lemah, dan badan makin membungkuk
DO:
1.
Klien
tampak sakit berat
2.
TB:
170 cm, BB: 49 kg
3.
TTV:
Suhu:
380C
RR:
28x/m
Nadi:
100x/m
TD:
120/80 mmHg
4.
Pada
pemeriksaan fisik ditemukan:
·
Ekstremitas:
tungkai bawah paralisis
·
Pada
inspeksi terlihat adanya kifosis pada vertebra
·
Pada
palpasi dirasakan tulang belakang keropos (loss bone)
5.
Pada
pemeriksaan diagnostik ditemukan:
·
Pemeriksaan
rontgen: diskus menyempit, lose bone pada tulang anterior, adanya gibus dan
deformitas
Data tambahan:
6.
Kemungkinan
ditemukan langkah kaki klien terlihat pendek karena mencoba menghindari nyeri
7.
Kemungkinan
ditemukan klien menggerakkan kakinya bila berbalik, bukan mengayunkan dari
sendi panggulnya.
8.
Kemungkinan
ditemukan klien menekuk lututnya saat mengambil sesuatu dari lantai dan tetap
mempertahankan panggulnya tetap kaku
Data tambahan:
9.
Pada
pemeriksaan diagnostik kemungkinan ditemukan:
·
X-Ray:
destruksi korpus vertebra bagian anterior, peningkatan wedging anterior
·
CT
scan :
-
lesi lytic irregular, kolaps
disk dan kerusakan tulang
-
abses jaringan lunak
|
Hambatan
mobilitas fisik
|
Nyeri,
paraplegia, paralisis ekstremitas bawah, kelemahan fisik (anggota gerak)
|
2.
|
DS:
1.
Klien
mengatakan keluhan disertai lelah, demam, nafsu makan kurang, batuk, kedua
tungkai bawah terasa lemah, dan badan makin membungkuk
2.
Klien
mengatakan 2 minggu yang lalu klien merasa sesak, batuk makin berat, dan
keluhan lain bertambah parah.
3.
Klien
mengatakan tinggal di tempat yang padat dan kumuh serta ventilasi yang kurang
Data tambahan:
4.
Kemungkinan
klien mengatakan kesulitan mengeluarkan dahak
5.
Kemungkinan
klien mengatakan adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak
disertai nyeri dada.
6.
Kemungkinan
ditemukan makanan klien hanya setengah porsi yang dihabiskan
DO:
1.
Klien
tampak sakit berat
2.
TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80
mmHg
3.
Pada
pemeriksaan fisik ditemukan:
·
Pulmo:
vbs, ronchi (+), wheezing (-)
4.
Pada
pemeriksaan lab kemungkinan ditemukan:
·
Mikrobiologi
(dari jaringan tulang/abses): Bakteri tahan asam (+)
5.
Pada
pemeriksaan diagnostik ditemukan:
·
Foto
thorax: corakan paru bertambah
·
Pemeriksaan
rontgen: diskus menyempit, lose bone pada tulang anterior, adanya gibus dan
deformitas
Data
tambahan
6.
Kemungkinan
ditemukan klien tampak batuk tidak efektif
7.
Kemungkinan
ditemukan pasien terlihat gelisah
8.
Kemungkinan
ditemukan sputum berwarna hijau kekuningan
9.
Pada
pemeriksaan lab kemungkinan ditemukan:
·
Mikrobiologi
(dari jaringan tulang/abses): Bakteri tahan asam (+)
|
Bersihan
jalan nafas tidak efektif
|
Peningkatan
produksi sekret dan ketidakmampuan batuk efektif
|
3.
|
DS:
1.
Klien
mengatakan awalnya keluhan tidak dihiraukannya, tetapi lama kelamaan dirasa
bertambah parah
2.
Klien
mengatakan bahwa klien bekerja sebagai kuli bangunan
3.
Klien
mengatakan tinggal di tempat yang padat dan kumuh serta ventilasi yang kurang
4.
Klien
mengatakan pernah berobat kepuskesmas, tetapi hanya diberikan obat analgesik
dan antipiretik, dan keluhannya dirasa hanya membaik sementara
Data tambahan:
5.
Kemungkinan
klien mengatakan sering keluar keringat pada malam hari
6.
Kemungkinan
klien mengatakan adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak
disertai nyeri dada.
DO:
1.
TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80 mmHg
2.
Pada
pemeriksaan lab ditemukan:
·
Leukosit:
17.000 ul
·
LED:
meningkat (110mm/jam)
·
Mantoux
test: positif
Data tambahan:
3.
Kemungkinan
ditemukan tampak pembengkanan di kedua sisi leher klien
4.
Pada
pemeriksaan diagnostik kemungkinan ditemukan:
·
MRI
-
infeksi disk space, menunjukkan
perluasan penyakit ke dalam jaringan lunak
dan penyebaran debris tuberkulosis di bawah ligamen longitudinalis anterior
dan posterior
-
kompresi neural
|
Resiko
penyebaran infeksi
|
peningkatan
pemajanan lingkungan terhadap pathogen; kerusakan jaringan
|
3.
Diagnosa Keperawatan
a.
Hambatan
mobilitas fisik b.d Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas bawah, kelemahan
fisik (anggota gerak)
b.
Bersihan
jalan nafas tidak efektif b.d Peningkatan produksi sekret dan ketidakmampuan
batuk efektif
c.
Resiko
penyebaran infeksi b.d peningkatan pemajanan
lingkungan terhadap pathogen; kerusakan jaringan
4. Intervensi Keperawatan
a.
Hambatan
mobilitas fisik b.d Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas bawah, kelemahan
fisik (anggota gerak)
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam klien
dapat menunjukan cara melakukan mobilisasi secara optimal sesuai dengan
kondisis daerah spondilitis.
Kriteria Hasil : Klien mampu melakukan
aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, mengidentifikasi
individu atau masyarakat yang dapat membantu, klien terhindar dari cidera,
nyeri berkurang.
Intervensi:
1)
Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya, dan intensitas
(skala 0 ± 10). Perhatikan petunjuk verbal dan non-verbal.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan dan
kebutuhan untuk /keefektifan
analgesic.
2)
Berikan alternatif tindakan kenyamanan (massage, perubahan posisi).
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum menurunkan area tekanan lokal dan
kelelahan otot.
3)
Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contohnya relaksasi progresif,
latihan nafas
dalam, imajinasi visualisasi dan sentuhan terapeutik.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, mengurangi area tekanan dan kelelahan otot.
4)
Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik.
Rasional: Diberikan untuk
mengurangi nyeri dan spasme otot.
5)
Kaji
kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan mobilisasi.
Rasional : membantu dalam mengantisipasi
dan merencanakan pertemuan untuk kebutuhan individual.
6)
Hindari
apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
Rasional : klien dalam keadaan cemas dan
tergantung sehingga hal ini di lakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga
harga diri klien.
7)
Atur
posisi fisiologis, meliputi :
a.
Kaji
kesejajaran dan tingkat keyamanan selama klien berbaring sesuai dengan daerah
spondilitis.
Rasional : memberikan data dasar tentang
kesejajaran tubuh dan kenyamanan klien untuk perencanaan selanjutnya.
b.
Atur
posisi telentang dan letakkan gulungan handuk / bantal di daerah bagian bawah
punggung yang sakit dengan menjaga komdisi kurvatura tulanga belakang dalam
kondisi optimal.
Rasional : mengurangi kemungkinan
stimulus nyeri, kontraktur sendi, dan kemungkinan untuk pergerakan optimal pada
ekstremitas atas.
c.
Sokong
kaki bawah yang mengalami paraplegia dengan bantal dengan posisi jari-jari kai
mengahadap langit.
Rasional : posisi optimal untuk mencegah
footdrop yang sering terjadi akibat
kondisi kaki yang jatuh (posisi ekstensi) terlalu lama di tempat tidur. Adanya
bantal akan mencegah terjadinya rotasi luar kaki dan mengurangi tekanan pada
jari-jari kaki.
8)
Lakukan
latihan ROM
Rasional : latihan yang efektif dan
berkesinambungan akan mencegah terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot yang
sering terjadi pada klien spondilitis TB.
9)
Ajak
klien untuk berfikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya. Berika klien
motivasi dan izinkan klien melakukan tugas, beri umpan balik positif atas
usahanya.
Rasional : klien memerlukan empati,
tetapi perawata perlu mengetahui perawatan yang konsisten dalam menganani
klien, dan menganjurkan klien untuk terus mecoba.
10) Kolaborasi pemberian OAT
Rasional : pemberian regimen OAT (Obat
Anti Tuberkulosis) sesuai panduan akan mengatasi masalah utama pada klien
spondilitis.
11) Tindakan operatif
Rasional : memberikan stabiltas pada
tulang belakang dengan tindakan pembedahan, yaitu pendekatan anterior dengan
debridement, eksisi dan fusi anterior, serta pendekatan posterior dilakukan
dengan dekompresi dan stabilisasi dengan pemasangan PSSW (Pedicle Screw And Sublaminary Wire Plate)
b.
Bersihan
jalan nafas tidak efektif b.d Peningkatan produksi sekret dan ketidakmampuan
batuk efektif
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam setelah
intervensi, akan menjadi peningkatan keefektifan pembersihan jalan nafas dan aspirasi
dapat dicegah.
Kriteria Hasil : frekusensi pernapasan
dalam batas normal, suara napas terdengar bersih,ronki tidak terdengar, klien
menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran
napas.
Intervensi:
1)
Kaji
keadaan jalan napas
Rasional : Obstruksi mungkin dapat
disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus, perdarahan, bronko spasme
dan atau posisi dari trakeostomi atau selang endotrakeal yang berubah.
2)
Evaluasi
pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral)
Rasional : pergerakan dada yang simetris
dengan suara naspa yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak
terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada
pnemonia/atelektasis seperti ronki atau mengi.
3)
Anjurkan
klien melakukan batuk efektif.
Rasional : batuk yang efektif dapat
mengeluarkan sekret dari saluran napas.
4)
Atur/ubah
posisi secara teratur setiap 2 jam.
Rasional : mengatur pengeluaran sekret
dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi resiko atelektasi.
5)
Berikan
minuman hangat jika keadaan memungkinkan
Rasional : membantu pengenceran sekret,
mempermudah pengeluaran sekret.
6)
Jelaskan
kepada klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret disaluran napas.
Rasional : pengetahuan diharapkan akan
membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencanan terapeutik.
7)
Ajarkan
klien tentang metode yang tepat tentang pengontrolan batuk.
Rasional :batuk yang tidak terkontrol
adalah melelahkan dan tidak efektif menyebabkan frustasi.
8)
Lakukan
pernapasan diafragma
Rasional : pernapasan diafragma
menurunkan frekuensi pernapasan dan meningkatkan ventilasi alveolar.
9)
Ajarkan
klien tentang tindakan untuk mengurangi viskositas sekresi, mempertahankan
hidrasi yang adekuat, meningkatkan asupan cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak
ada kontraindikasi.
Rasional : untuk menghindari pengentalan
dari sekret atau pada mukus pada saluran bagian atas.
10) Dorong atau berikan perawatan mulut yang
baik serta batuk
Rasional : higiene mulut yang baik
meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
11) Kolaborasi dengan tim medis, radiologi,
dan fisioterapi.
a)
Pemberian
mukolitik & ekspetoran
Rasional : mukolitik merupakan agen
untuk mobilisasi sekret. Ekspektoran untuk memudahkan pengeluaran atau
mobilisasi lendir dan mengevaluasi perbaikan klien atas pengembangan paruya.
b)
Pemberian
OAT
Rasional : pemberian regimen OAT sesuai
panduan akan mengatasimsalah utama pada klien spondiitis tuberkulosa.
c)
Konsul
foto thorak.
Rasional : Sebgai bahan evaluasi hasil
pengobatan dan mengidentifikasi komplikasi dari akumulasi sekret yang berbahaya
seperti pneumoni aspirasi.
c.
Resiko
penyebaran infeksi b.d peningkatan pemajanan
lingkungan terhadap pathogen; kerusakan jaringan
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan resiko Infeksi
berhubungan dengan peningkatan pemajanan lingkungan terhadap pathogen;
kerusakan jaringan berkurang sampai dengan hilang.
Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda
infeksi, suhu tubuh normal, hasil pemeriksaan laboratorium (leukosit, LED) normal.
Intervensi:
1) Implementasikan
teknik isolasi yang tepat sesuai indikasi
Rasional : Isolasi untuk menurunkan
resiko kontaminasi silang/terpajan pada flora bakteri multitel
2) Tekankan
pentingnya tehnik cuci tangan yang baik untuk semua individu yang datang
kontaak dengan pasien.
Rasional : Mencegah kontaminasi silang/menurunkan
resiko infeksi
3)
Mengkaji
patologi penyakit (fase aktif atau inaktif) dan potensial penyebaran infeksi
melalui airbone droplet selama batuk, bersin, meludah, berbicara, tertawa, dll.
Rasional : Untuk mengetahui kondisi nyata dari
masalah pasien fase inaktif tidak berarti tubuh pasien sudah terbebas kuman
Tubekulosis.
4)
mengidentifikasi
resiko penularan terhadap orang lain seperti anggota dan keluarga dan teman
dekat. Mengintruksikan kepada pasien juka batuk atau bersin, maka ludahkan ke
tissue.
Rasional
: Mengurangi resiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit yang sama
dengan pasien.
5) Menganjurkan
penggunaan tissue untuk membuang sputum. Mereview pentingnya mengontrol nfeksi,
misalnya dengan menggunakan masker.
Rasional
: Penyimpanan sputum pada wadah yang terdesinfeksi dan penggunaan masker dapat
meminimalkan penyebaran infiksi melalui droplet.
6) Memonitor
suhu sesuai indikasi.
Rasional
: Peningkatan suhu menandakan terjadinya infeksi sekunder.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar