Rabu, 29 Oktober 2014

MUSKULOSKELETAL



BAB II
SPONDILITIS TUBERKULOSIS
A.   Anatomi Fisiologi  
 Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang ( Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis ). Di bagian dalam tulang terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi sumsum tulang belakang yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf pusat. Saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti usus, jantung dan lainnya.
Susunan anatomi atau struktur tulang belakang terdiri dari :
http://scoliosismalaysia.files.wordpress.com/2008/05/rajah-12-replace.jpg
a.    Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher yang membentuk daerah tengkuk.
b.    Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung yang membentuk bagian belakang torax atau dada.
c.    Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang yang membentuk daerah lumbal atau pinggang.
d.   Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang yang membentuk sakrum atau tulang kelangkang.
e.    Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging atau ekor yang membentuk tulang ekor.

Lengkung ruas tulang bagian leher melengkung ke depan, lengkung ruas tulang dada ke arah belakang, daerah pinggang melengkung ke depan dan pelvis atau kelangkang lengkungannya kearah belakang.

Vertebra servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil dibandingkan dengan ruas tulang lainnya, ciri dari ruas tulang punggung adalah semakin ke bawah semakin membesar dilihat dari segi ukurannya yang memuat persendian untuk tulang iga. Ruas tulang pinggang adalah yang terbesar dibandingkan dengan badan vertebra lainnya. Sakrum atau tulang kelangkang terletak di bagian bawah tulang belakang dengan bentuk segitiga, dan ruas tulang ekor terdiri dari 4 atau 5 vertebra yang bergabung menjadi satu dan letaknya berada di bagian paling bawah dari tulang belakang atau spine. Ruas-ruas tulang belakang diikat oleh serabut yang dinamakan dengan ligamen.
Secara  anatomis  setiap  ruas  tulang  belakang  akan  terdiri  dari  dua bagian :
1.  Bagian depan
Bagian ini struktur utamanya adalah badan tulang belakang (corpus vertebrae). Bagian ini fungsi  utamanya  adalah  untuk  menyangga  berat  badan.  Di  antara  dua  korpus  vertebra yang  berdekatan  dihubungkan  oleh  struktur  yang  disebut  diskus  intervertebralis  yang bentuknya  seperti  cakram,  konsistensinya  kenyal  dan  berfungsi  sebagai  peredam  kejut (shock absorber). 
2.  Bagian belakang
Bagian belakang dari ruas tulang belakang ini fungsinya untuk :
·         Memungkinkan  terjadinya  pergerakan  tulang  belakang  itu  sendiri.  Hal  ini dimungkinkan oleh karena di bagian ini terdapat dua persendian.
·         Fungsi  perlindungan,  oleh  karena  bagian  ini  bentuknya  seperti  cincin  dari  tulang yang  amat  kuat  dimana  di  dalam  lubang  di  tengahnya  terletak  sumsum  tulang belakang (medulla spinalis/spinal cord).
·         Fungsi  stabilisasi.  Karena  fungsi  tulang  belakang  untuk  manusia  adalah  sangat penting,  maka  fungsi  stabilisasi  ini  juga  penting  sekali.  Fungsi  ini  didapat  oleh kuatnya  persendian  di  bagian  belakang  yang  diperkuat  oleh  adanya  ligamen  dan otot-otot  yang  sangat  kuat.  Kedua  struktur  terakhir  ini  menghubungkan  tulang belakang  baik  dari  ruas  ke  ruas  yang  berdekatan  maupun  sepanjang  tulang belakang mulai dari servikal sampai kogsigeal.

 











Vaskularisasi kolumna vertebralis
 Arteria spinalis yang mengantar darah kepada vertebra, adalah cabang dari :
·         Arteria vertebralis dan arteria servikalis ascendens di leher
·         Arteria interkostalis posterior di daerah thorakal
·         Arteria subkostalis dan arteria lumbalis di abdomen
·         Arteria iliolumbalis dan arteria sakralis lateralis
Arteria spinalis  memasuki  foramen  intervertebralis dan  bercabang  menjadi cabang akhir dan cabang  radikular.  Beberapa  dari  cabang-cabang  ini  beranastomosis  dengan  arteri-arteri medulla spinalis.
Vena  spinalis  membentuk  pleksus  vena  yang  meluas  sepanjang  kolumna  vertebralis,  baik  di sebelah dalam (pleksus venosi vertebralis profundus) dan juga di sebelah luar (pleksus venosi vertebralis  superficialis)  kanalis  vertebralis.  Vena  basivertebralis  terletak  dalam  korpus vertebra.

B.   Definisi Spondilitis Tuberculosis  
 Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberkulosis ekstra pulmonal yang bersifat kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia (Tandiyo, 2010).
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus ditempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang ertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan, bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott. (pengantar ilmu bedah ortopedi)
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan granulomatosa yg bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8-L3 dan paling jarang pada vertebra C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang menyerang arkus vertebra (Mansjoer, 2000).
Dari beberapa definisi spondilitis tuberjulosis dapat disimpulkan bahwa Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di  sebabkan  oleh  kuman  spesifik  yaitu  mycubacterium  tuberculosa  yang  mengenai  tulang vertebra.

C.   Klasifikasi  Spondilitis Tuberculosis  
 Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:
1.                 Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2.                 Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
3.                 Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
4.                 Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
Menurut kumar membagi perjalanan penyakit ada lima stadium yaitu :
1.                 Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk oloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Kedaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral vertebrata.
2.                 Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjai destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu.
3.                 Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masih, kolaps vertebra yang terbentuk masa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat berebentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama disebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4.                 Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II : terdapa kelemahan pada anggota gerak bawah tai penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktifitas penderita serta hipestesia atau anestesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris ,disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegi atau pott paraplegia dapat terjadi suara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravetbral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif atau sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tubrkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vesikuler vertebra. Derajat I – III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5.                 Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.

D.   Etiologi   Spondilitis Tuberculosis  

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikrobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosis atipik. Walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.
Lokalisai spondilitis tuberkulosis terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga di duga aadanya infeksi sekunder dari suatu teberkulosis traktus urinaris, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena peravertebralis.

E.   Patofisiologi  Spondilitis Tuberculosis  
  Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya (Alfarisi, 2011)
            Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah (Alfarisi, 2011).
            Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea (Qittun, 2008)
            Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis X sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal VIII sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis X, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis I, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal. Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu (Mclain et al., 2004):
1.         Penekanan oleh abses dingin
2.         Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis
3.         Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya
4.         Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.
SponTB

F.    Manifestasi Klinis  Spondilitis Tuberculosis  
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses destruksi lanjut berupa:
a.     Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b.    Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian, 2005).
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral (Hidalgo, 2006).
Pada stadium awal belum ditemukan deformitas tulang vertebra dan belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas (Craig, 2009).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri dan kekakuan di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat (Wheeles, 2011).


G.  Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan Pasien Spondilitis Tuberculosis  
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pott’s paraplegia yaitu:
1.      Pemberian obat antituberkulosis.
2.      Dekompresi medula spinalis.
3.      Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4.      Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari :
Terapi konservatif
a.                Tirah baring (bed rest).
b.      Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c.                Memperbaiki keadaan umum penderita.
d.      Pengobatan antituberkulosa.
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Intensif
Text Box: Pengawasan Ketet dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. 

Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya  kekebalan terhadap semua OATterutama rifampisin . Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan  secara tepat  biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalamkurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif  menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif.
‘[
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namum dalam jangka waktu yang lebih lama.
Text Box: Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister ( dormant ) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
PADUAN OAT DI INDONESIA
WHO dan IUATLD ( Internatioal Union Against Tuberculosis and lung Disease ) merekomendasikan paduan OAT Standar 
Yaitu :
Kategori  1 :
·         2HRZE / 4 H3R3
·         2HRZE / 4 HR
·         2HrZE / 6 HE
Kategori  2:
·         2HRZES / HRZE /5H3R3E3
·         2HRZES / HRZE / 5HRE
Kategori 3:
·         2HRZ / 4H3R3
·         2 HRZ / 4 HR
·         2HRZ / 6 HE

Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT
Kategori 1 :  2 HRZE / 4H3R3
Kategori  2 :  2HRZES / HRZE / 5H3R3E3
Kategori 3 : 2 HRZ / 4H3R3
Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan ( HRZE )

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam pemberian obat dan  menjamin kelangsungan ( kontinuitas ) pengobatan sampai selesai satu (1) paket untuk satu ( 1) penderita dalam satu (1)  masa pengobatan.
a)  Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), Pirasinamid ( Z) dan Etambutol ( E ) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ). Klemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan  Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
·         Penderita baru TBC Paru BTA Positif
·         Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang “ sakit berat “ dan
·         Penderita TBC Ekstra Paru berat.
Tabel : Panduan OAT Kategori 1
Tahap
pengobatan
Lamanya
Pengobatan
Dosis Per hari / Kali
Tablet
Isoniasid
@300mg
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirasinamid @ 500 mg
Tablet
Etambutol
@ 250 mg
Jumlah hari /kali menelan
obat’
Tahap Intensi
osis harian)
2 Bulan
1
1
3
3
60
Tahap
lanjutan
( Dosis 3 X
seminggu )
2 Bulan
2
1
-
-
54
Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg

Satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk tahap intensif dan 54 blister  HRH untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.

b)  Kategori –2 ( 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3 )
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid ( H) , Rifampisin ( R), Pirasinamid ( Z ),dan Etambutol ( E) setiap hari . Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan  tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan  obat.
Obat ini diberikan untuk :
·         Penderita kambuh ( relaps )
·         Penderita Gagal ( failure )
·         Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after default )

Tabel 2 : Paduan OAT Kategori 2
Tahap

Lamanya
Pengobatan
Tablet
Isoniasid
@300mg
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirasinamid @ 500 mg
Etambutol
Strepto-misin Injeksi
Jumlah
Hari / Kali
Menelan
Obat
Tablet @250 mg
Tablet @500 mg
Tahap
Intensif
(dosis
harian)
2 bulan

1 bulan
1

1
1

1
3

3
3

3
-

-
0,75 gr
60

30
Tahap
Lanjutan
(dosis 3 x
seminggu)
5 bulan
2
1
-
1
2
-
66
Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg
           
Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk tahap intensif dan 66 blister  HRE untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar disamping itu  disediakan 30 vial streptomicin @ 1,5 gr dan pelengkap pengobatan ( 60 spuit dan aquabidest ) untuk tahap intensif.
 c)  Kategori –3 ( 2HRZ / 4H3R3 )
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari  HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu ( 4H3R3 ).
Obat ini diberikan untuk :
  • Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan
  • Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis ) pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit , tbc  tulang ( kecuali tulang belakang ) sendi dan kelenjar aderenal.
Tabel 3 : Paduan OAT Kategori 3
Tahap
Pengobatan
Lamanya
Pengobatan
Tablet Isoniadid
@ 300mg
Kaplet Rifampisin
@ 450 mg
Tablet
Pirasinamid @ 500 mg
Jumlah hari
menelan obat
Tahap intensif (dosis harian)
2 bulan
1
1
3
60
Tahap Lanjutan (dosis 3x
seminggu )
4 bulan
2
1
-
54
Keterangan : dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33-50 kg
           
Satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk tahap intensif dan 54 bliter  HR untuk tahap lanjutan masing masing di kemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar

d)  OAT SISIPAN ( HRZE )
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif  pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan
Tabel 4 : Paduan OAT Sisipan
Tahap
pengobatan
Lamanya
Pengobatan
Tablet
Isponiasid @ 300 mg
Kaplet
Rifampisin @ 450 mg
Tablet
Pirasnandi @ 500 mg
Tablet
Etambutol @ 250 mg
Jumlah
hari/kali
menelan obat
Tahap Intensif
(dosis harian)
1 bulan
1
1
3
3
30
Keterangan dosis tersebut diatas untuk penderita dengan BB antara 33 – 50 kg
Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil

Terapi Operatif
1.                 Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat tuberkulostatik.
2.                 Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka, debrideman, dan bone graft.
3.                 Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
a.                  Cold abscess
Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
b.                 Lesi tuberkulosa
1)      Debrideman fokal.
2)      Kosto-transveresektomi.
3)      Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c.                  Kifosis
1)      Pengobatan dengan kemoterapi.
2)      Laminektomi.
3)      Kosto-transveresektomi.
4)      Operasi radikal.
5)      Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal

H.  Pemeriksaan Diagnostik Spondilitis Tuberculosis  
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
1.  Pemeriksaan Laboratorium
   Peningkatan laju endap darah (LED) dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Newanda (2009) melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33% anak dengan laju endap darah yang normal.
   Uji Mantoux positif
   Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
   Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
   Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
   Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.
   Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses.
   Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
   Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.
   Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) masih terus dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA, amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel. Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC (Becton Dickinson Diagnostic Instrument System). Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).
2.  Pemeriksaan Radiologis
a.    Foto Thoracolumbal
Pemeriksaan radiologis merupakan suatu pencitraan yang ideal harus dapat memberikan keterangan mengenai:
       Jumlah vertebra yang terlibat, sudut kifosis yang terjadi
       Seberapa jauh destruksi tulang telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna anterior atau sudah mencapai kolumna posterior
       Ada tidaknya keterlibatan jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan sekuesterisasi diskus interverbralis
       Ada tidaknya kompresi medula spinalis dan tingkat keseriusannya
·      Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain
·      Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis (Newanda, 2009).
Gambar 3.1 Destruksi vertebra disertai kiphosis (Craig, 2009)
·      Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali pada tempat tersebut suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu (Craig, 2009).









Gambar 3.2 Gambaran Gibbus pada tulang belakang (Craig, 2009)

·      “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur.
·      Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit.
·      Abses dingin.
Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan (“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2 (Newanda, 2009)
Gambar 3.3 Seorang laki-laki dengan spondylitis tuberkulosa mengalami low back pain (LBP) selama 5 bulan. Gambaran radiografi Anteroposterior (A) dan lateral (B) menunjukkan adanya destrukdi corpus vertebra lumbal ! dan II dengan hilangnya discus intervertebralis. Destruksi corpus vertebra terletak pada bagian anterior corpus, yang menyebabkan deformitas khas berupa gibbus. Terdapat sklerosis reaktif yang merupakan ciri khas dari infeksi tuberkulosa (Shanley, 1995)

Gambar 3.4 Anak laki-laki berusia 5 tahun dengan infeksi tuberculosis pada vertebra thoracalis. Gambaran radiografi lateral pada corpus vertebra thoracalis menunjukkan destruksi total dari corpus vertebra thoracalis VI yang menyebabkan deformitas plana pada vertebra. Diskus intervertebralis yang berdekatan tidak tervisualisasi dengan baik. Terdapat pula destruksi dari corpus vertebra thoracalis VII bagian anterior dan posterior sehingga menyebabkan deformitas gibbus (Shanley, 1995)

Gambar 3.5 Seorang laki-laki berusia 43 tahun dengan tuberculosis spinal. A. gambaran radiografi lateral dari vertebra lumbal menunjukkan erosi fokal (tanda panah) pada aspek antero-superior dari corpus vertebra lumbal IV. Subtle erosion juga terdapat pada endplate vertebra lumbal III antero-inferior. B. gambaran radiografi didapat 3 bulan sebelumnya menunjukkan perubahan erosi pada corpus vertebra, sklerosis pada end plate vertebra, hilangnya discus intervertebralis yang berdekatan, tampak suatu massa jaringan lunak pada bagian anterior (tanda panah), dan ada pembentukan gibbus awal (Shanley, 1995).

Gambar 3.6 Pria berusia 18 tahun dengan abses paraspinal tuberkulosa. Gambaran radiografi thorax menunjukkan fusiform soft-tissue swelling (tanda panah) pada regio thorax bawah yang menunjukkan adanya abses tuberkulosa paraspinal (Shanley, 1995).

b.      Pemeriksaaan CT-scan
        CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan mendeteksi lesi lebih dini dibandingkan foto polos. Pada suatu penelitian, didapatkan 25% penderita memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT scan dan MRI. CT scan secara efektif dapat melihat kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi (Newanda, 2009).
        Lesi terlihat osteolitik iregular, bermula pada korpus dan kemudian menyebar sehingga vertebra kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam vertebra yang hancur. CT scan dapat menggambarkan keterlibatan elemen posterior bilateral akan berakibat instabilitas tulang belakang sehingga tindakan operatif merupakan indikasi dan prosedur anterior strut grafting mungkin tidak adekuat sehingga dibutuhkan instrumentasi posterior (Newanda, 2009).
o  CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih) (Newanda, 2009).

Gambar 3.7 Pria berusia 42 tahun dengan infeksi tuberkulosa pada sacrum. Unenhanced CT scan dari pelvis menunjukkan destruksi dari bagian anterior sacrum dan abses tuberkulosa luas pada presacral (tanda panah putih). Terdapat pula sequestrum (tanda panah hitam (Shanley, 1995)

Gambar 3.8 Pria berusia 45 tahun dengan tuberculosis yang melibatkan vertebra thoracalis. A. Gambaran posterior dari whole-body CT scan menunjukkan peningkatan uptake radionuclide pada vertebra thoracalis bagian tengah dan bawah. B. Axial single-photon emission CT scan menunjukkan keterlibatan corpus vertebra dan meluas sampai bagian posterior (tanda panah) yang tidak tampak pada foto polos (Shanley, 1995).

Gambar 3.9 Laki-laki berusia 43 tahun dengan tuberculosis spinal. Pada CT scan dengan kontras abdomen menunjuuka destruksi litik pada bagian anterior dari corpus vertebra lumal I (tanda panah hitam) dan pembentukan abses pada paraspinal terdekat dan psoas kanan (tanda panah putih) (Shanley, 1995).

Gambar 3.10 Laki-laki berusia 42 tahun dengan spondylitis tuberculosis. Unenhanced CT scan dari spine menunjukkan destruksi dan fragmentasi dari corpus vertebra lumbal I. Abses interosseosa meluas sampai ke bagian posterior (tanda panah), menyebabkan perluasan minimal pada saccus thecal (Shanley, 1995).

Gambar 3.11 Laki-laki 33 tahun dengan spinal tuberculosis. Gambar A, Terdapat penyengatan kontras pada CT-scan abdomen dengan teknik bone window menunjukkan cloaca (panah) di bagian anterolateral dari corpus vertebrae thorax XII. Gambar B, Gambaran CT-scan beberapa sentimeter di bagian caudal dari gambar A menunjukkan abses besar pada muskulus psoas kiri yang disebabkan oleh dekompresi spontan abses T12 intraosseous. Gambar C, CT-scan yang melalui bagian bawah dada menunjukkan efusi pleura kiri yang besar dan atelektasis lobus bawah kiri. Efusi ini disebabkan oleh perluasan cephalic dari rupture dan abses paraspinal ke dalam rongga pleura kiri (Shanley, 1995)

.
Gambar 3.12 Gambar 6, laki-laki usia 43 tahun dengan spinal tuberculosis. Penyengatan kontras CT-scan abdomen menunjukkan destruksi litik dari bagian anterior corpus vertebrae lumbal I (panah hitam) dan pembentukan abses di psoas kanan dan paraspinal. Gambar 7, laki-laki 42 tahun dengan spondilitis tuberkulosa. CT-scan tanpa penyengatan spina menunjukkan destruksi dan fragmentasi dari corpus vertebrae lumbal I. Terdapat perluasan posterior dari abses intraosseus (panah) yang menghasilkan gangguan ringan pada saccus thecal (Shanley, 1995)

c.       Pemeriksaan MRI
        Kelebihan MRI adalah kemampuannya dalam proyeksi multiplanar dan dalam spesifitas terutama jaringan lunak yang dapat ditampilkan lebih baik sehingga dapat mendeteksi lesi lebih awal dan lebih menyeluruh (Newanda, 2009).
        Pada MRI akan ditemui penurunan intensitas sinyal fokus infeksi pada gambaran T1-weighted dan peningkatan sinyal yang heterogen pada gambaran T2-weighted. Pada pemberian kontras infeksi tuberkulosis memperlihatkan penyangatan inhomogen pada infiltrasi sumsum tulang dengan tepi lesi menyangat. Abses tuberkulosis pada pemberian kontras akan memperlihatkan penyangatan perifer dengan nekrosis sentral. Keterlibatan diskus invertebralis sebagian besar akan menampilkan gambran klasik diskitis berupa peningkatan singal pada gambaran T2-weighted, penurunan sinyal pada gambaran T1-weighted dan menyangat setelah pemberian kontras (Newanda, 2009).
        MRI menggambarkan perluasan infeksi paling baik dan dapat memperlihatkan penyebaran granuloma tuberkulosis di bawah ligamentum longitudinal anterior dan posterior. MRI dapat membedakan jaringan patologis yang mengakibatkan penekanan pada struktur neurologis. Hal ini penting karena intervensi bedah dibutuhkan pada defisit neurologis yang disebabkan penekanan oleh deformitas tulang berupa kifosis atau oleh konstriksi akibat fibrosis di sekeliling kanalis neuralis ((Newanda, 2009)).
        Mehta mengajukan klasifikasi tuberkulosis vertebra torakal berdasarkan ekstensi lesi yang terlihat pada MRI untuk perencanaan strategi pembedahan.
• Mengevaluasi infeksi diskus intervertebrata dan osteomielitis tulang belakang.
• Menunjukkan adanya penekanan saraf.
Dilaporkan 25 % dari pasien mereka memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT-Scan dan MRI yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat dengan foto polos.CT-Scan efektif mendeteksi kalsifikasi pada abses jaringan lunak . Selain itu CT-Scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsy (Newanda, 2009).
Gambar 3.13 Terdapat keterlibatan endplate anterior dan pelebaran diskus intervertebrae dan corpus vertebrae posterior. Pemeriksaan MRI ini dapat menunjukkan pembentukan abses dan metode terbaik untuk menunjukkan kompresi saraf tulang belakang dan akar saraf (Craig, 2009)











Gambar 3.14 Seorang laki-laki 41 tahun dengan spinal tuberculosis. Gambar A, MRI potongan sagital T1-weighted enhanced menunjukkan peningkatan secara luas dalam corpus vertebrae thorax VIII yang disebabkan infeksi tuberkulosa. Abses intraosseus dalam corpus vertebrae thorax IX menunjukkan penebalan lingkar dari penyangatan. Terdapat penyangatan dari abses epidural dan perluasan bagian cephalic dan caudal secara jelas tergambar dengan penggunaan kontras. Gambar B, MRI potongan coronal T1 weighted (600/11) enhanced dari spina thorak menunjukkan ketebalan lingkar dari penyangatan disekitar abses intraosseous. Abses paraspinal kecil terlihat secara bilateral (panah) (Shanley, 1995).

Gambar 3.15 Anak laki-laki usia 5 tahun dengan spinal tuberculosis. MRI potongan sagital T2 weighted yang berdekatan menunjukkan 2 level dari infeksi tuberkulosa. Adanya gibbus pada region thorax atas karena destruksi lengkap dan kolaps dari corpus vertebrae thorax VI. Corpus vertebrae VII sebagian hancur dan bersudut serta ruang diskus intervertebralis sulit tervisualisasi. Adanya kolaps dan penyudutan dari corpus vertebrae lumbal IV pada setengah bagian anterior dengan penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan. Corpus vertebrae lumbal V menunjukkan peningkatan sinyal yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosa. Kanalis medulla spinalis terganggu secara minimal pada kedua level (Shanley, 1995).


Gambar 3.16 Laki-laki 45 tahun dengan spinal tuberculosis.
Gambar A MRI potongan sagital T1 weight menunjukkan penurunan sinyal pada corpus vertebrae thorax bagian bawah (T8-T11). Destruksi endplate vertebrae dan keterlibatan diskus intervertebralis juga terdapat pada level ini. Abses paraspinal terlihat meluas secara anterior dan posterior ke ruang epidural dan mengganggu saccus thecal. Gambar B dan C, MRI potongan sagital proton densitas weighted (A) dan T2 weighted dari spina thoraks menunjukkan peningkatan intensitas sinyal dalam corpus vertebrae dan ruang diskus intervertebralis. Perluasan abses paraspinal secara anterior  tervisualisasi lebih baik pada proton densitas weighted dan T2 weighted dibandingkan T1 weighted. Abses epidural tidak tergambar baik pada T2 weighted image karena intensitas sinyal tinggi dari CSF (Shanley, 1995).

Gambar 3.17 Laki-laki 45 tahun dengan spinal tuberculosis. MRI axial enhanced T1 weighted pada corpus vertebrae thorax IX menunjukkan ketebalan lingkar dari penyangatan disekitar abses intraosseus. Lingkar penyangatan juga terdapat disekitar abses paraspinal (panah). Penyangatan abses epidural (panah) terlihat penekanan sacus thecal (Shanley, 1995).

Gambar 3.18, Gambar A, Anak perempuan usia 3 tahun dengan tuberculosis spinal dan paru. MRI potongan coronal enhanced T1- weighted dari spina menunjukkan perluasan abses paraspinal. Penyebaran infeksi subligamental dan abses intraosseus tervisualisasi baik pada pencitraan coronal ini. Adanya infiltrate tuberkulosa pada lobus atas kiri. Gambar B, Laki-laki 42 tahun dengan tuberkulosa spinal. Pada MRI potongan sagital T2 weighted fast spin-echo menunjukkan peningkatan sinyal dalam corpus vertebrae lumbal I yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosa. Adanya gangguan margo anterosuperior dari corpus vertebrae menghasilkan abses paraspinal dan penyebaran subligamen secara anterior. Penurunan intensitas sinyal dan penyempitan diskus intervertebralis Thorax XII-Lumbal I yang disebabkan penetrasi dari infeksi melalui diskus. Adanya abses intraosseus pada corpus vertebrae lumbal IV. Gambar 3, Laki-laki 45 tahun dengan riwayat tuberkulosa spinal. MRI potongan sagital contiguous T1 weighted yang didapat postoperative menunjukkan cangkokan fibular autolog. Abses intraosseus tuberkulosa multiple didrainase dan dibersihkan selama operasi sebelum penempatan cangkok dan stabilisasi spinal. Canalis spinalis tervisualisasi baik dan tidak ada compromised (Shanley, 1995).

Gambar 3.19 Tuberkulosis spondilitis dari thorax VIII-IX (a, b, c). MRI pada spina thorax pada wanita usia 58 tahun dengan adanya nyeri pinggang. (a) potongan sagital pre-gadolinum T1-weighted. (b) Potongan sagital T2-weighted. (c) Potongan sagital post-gadolinum T1-weighted menunjukkan pola tipical dari kerusakan corpus vertebrae dengan keterlibatan diskus, intensitas sinyal tinggi linear dari diskus pada T2-weighted image tervisualisasi baik (panah putih). Setelah pemberian gadolinium, terdapat penyangatan dari vertebrae bagian posterior, linkar diskus intervertebralis yang irregular (panah putih), dan kolaps dari vertebrae thorax VIII (Danchaivijitr, 2007)

3.  Bakteriologis
Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-Nielsen membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per mililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan bakteriologis adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat radioaktif. Untuk itu dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).
Pada negara di mana terdapat prevalensi tuberkulosis yang tinggi atau tidak terdapat sarana medis yang mencukupi, penderita dengan gambaran klinis dan radiologis yang sugestif spondilitis tuberkulosis tidak perlu dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosis dan memulai pengobatan (Newanda, 2009).

4.  Histopatologis
     Infeksi tuberkulosis pada jaringan akan menginduksi reaksi radang granulomatosis dan nekrosis yang cukup karakteristik sehingga dapat membantu penegakan diagnosis. Ditemukannya tuberkel yang dibentuk oleh sel epiteloid, giant cell dan limfosit disertai nekrosis pengkejuan di sentral memberikan nilai diagnostik paling tinggi dibandingkan temuan histopatologis lainnnya. Gambaran histopatologis berupa tuberkel saja harus dihubungkan dengan penemuan klinis dan radiologis (Newanda, 2009).

I.      Komplikasi  Spondilitis Tuberculosis  
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1.             Pott’s paraplegia
·      Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan saraf.
·      Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
2.      Ruptur abses paravertebra
·      Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis.
·      Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
3.                    Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.




J.     Asuhan Keperawatan Pada Pasien Spondilitis Tuberculosis  
1.      Data Fokus
Data Subjektif
Data Objektif
1.      Klien mengatakan nyeri hebat pada tulang belakang yang dirasa sejak 3 bulan terakhir
2.      Klien mengatakan awalnya keluhan tidak dihiraukannya, tetapi lama kelamaan dirasa bertambah parah
3.      Klien mengatakan nyeri bertambah pada saat istirahat dan berkurang bila olahraga
4.      Klien mengatakan keluhan disertai lelah, demam, nafsu makan kurang, batuk, kedua tungkai bawah terasa lemah, dan badan makin membungkuk
5.      Klien mengatakan 2 minggu yang lalu klien merasa sesak, batuk makin berat, dan keluhan lain bertambah parah.
6.      Klien mengatakan bahwa klien bekerja sebagai kuli bangunan
7.      Klien mengatakan tinggal di tempat yang padat dan kumuh serta ventilasi yang kurang
8.      Klien mengatakan pernah berobat kepuskesmas, tetapi hanya diberikan obat analgesik dan antipiretik, dan keluhannya dirasa hanya membaik sementara
1.      Kesadaran klien composmentis
2.      Klien tampak sakit berat
3.      Klien tampak kurus
4.      TB: 170 cm, BB: 49 kg
5.      TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80 mmHg
6.      Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
·      Kepala: dbn
·      Thorax: simetris, deformitas (-), luka (-)
·      Cor: dbn
·      Pulmo: vbs, ronchi (+), wheezing (-)
·      Abdomen: dbn
·      Ekstremitas: tungkai bawah paralisis
·      Pada inspeksi terlihat adanya kifosis pada vertebra
·      Pada palpasi dirasakan tulang belakang keropos (loss bone)
7.      Pada pemeriksaan lab ditemukan:
·      Hb: 12 gr/dl
·      Leukosit: 17.000 ul
·      LED: meningkat (110mm/jam)
·      Mantoux test: positif
8.      Pada pemeriksaan diagnostik ditemukan:
·      Foto thorax: corakan paru bertambah
·      Pemeriksaan rontgen: diskus menyempit, lose bone pada tulang anterior, adanya gibus dan deformitas

Data Tambahan
Data Subjektif
Data Objektif
1.      Kemungkinan klien mengatakan kesulitan mengeluarkan dahak
2.      Kemungkinan klien mengatakan sering keluar keringat pada malam hari
3.      Kemungkinan klien mengatakan adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak disertai nyeri dada.


1.      Kemungkinan ditemukan klien tampak batuk tidak efektif
2.      Kemungkinan ditemukan pasien terlihat gelisah
3.      Kemungkinan ditemukan sputum berwarna hijau kekuningan
4.      Kemungkinan ditemukan langkah kaki klien terlihat pendek karena mencoba menghindari nyeri
5.      Kemungkinan ditemukan klien menggerakkan kakinya bila berbalik, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.
6.      Kemungkinan ditemukan klien menekuk lututnya saat mengambil sesuatu dari lantai dan tetap mempertahankan panggulnya tetap kaku
7.      Kemungkinan ditemukan makanan klien hanya setengah porsi yang dihabiskan
8.      Pada pemeriksaan lab kemungkinan ditemukan:
·      Mikrobiologi (dari jaringan tulang/abses): Bakteri tahan asam (+)
9.      Pada pemeriksaan diagnostik kemungkinan ditemukan:
·      X-Ray: destruksi korpus vertebra bagian anterior, peningkatan wedging anterior
·      CT scan : 
-  lesi lytic  irregular, kolaps disk dan kerusakan tulang
-  abses jaringan lunak
·      MRI
-  infeksi disk  space, menunjukkan perluasan penyakit ke dalam  jaringan lunak dan penyebaran debris tuberkulosis di bawah ligamen longitudinalis anterior dan posterior
-  kompresi neural

2.      Analisa data
No
Data
Masalah
Etiologi
1.
DS:
1.      Klien mengatakan nyeri hebat pada tulang belakang yang dirasa sejak 3 bulan terakhir
2.      Klien mengatakan awalnya keluhan tidak dihiraukannya, tetapi lama kelamaan dirasa bertambah parah
3.      Klien mengatakan nyeri bertambah pada saat istirahat dan berkurang bila olahraga
4.      Klien mengatakan keluhan disertai lelah, demam, nafsu makan kurang, batuk, kedua tungkai bawah terasa lemah, dan badan makin membungkuk
DO:
1.      Klien tampak sakit berat
2.      TB: 170 cm, BB: 49 kg
3.      TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80 mmHg
4.      Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
·   Ekstremitas: tungkai bawah paralisis
·   Pada inspeksi terlihat adanya kifosis pada vertebra
·   Pada palpasi dirasakan tulang belakang keropos (loss bone)
5.      Pada pemeriksaan diagnostik ditemukan:
·   Pemeriksaan rontgen: diskus menyempit, lose bone pada tulang anterior, adanya gibus dan deformitas
Data tambahan:
6.      Kemungkinan ditemukan langkah kaki klien terlihat pendek karena mencoba menghindari nyeri
7.      Kemungkinan ditemukan klien menggerakkan kakinya bila berbalik, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.
8.      Kemungkinan ditemukan klien menekuk lututnya saat mengambil sesuatu dari lantai dan tetap mempertahankan panggulnya tetap kaku
Data tambahan:
9.      Pada pemeriksaan diagnostik kemungkinan ditemukan:
·      X-Ray: destruksi korpus vertebra bagian anterior, peningkatan wedging anterior
·      CT scan : 
-  lesi lytic  irregular, kolaps disk dan kerusakan tulang
-  abses jaringan lunak
Hambatan mobilitas fisik
Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas bawah, kelemahan fisik (anggota gerak)
2.
DS:
1.      Klien mengatakan keluhan disertai lelah, demam, nafsu makan kurang, batuk, kedua tungkai bawah terasa lemah, dan badan makin membungkuk
2.      Klien mengatakan 2 minggu yang lalu klien merasa sesak, batuk makin berat, dan keluhan lain bertambah parah.
3.      Klien mengatakan tinggal di tempat yang padat dan kumuh serta ventilasi yang kurang
Data tambahan:
4.      Kemungkinan klien mengatakan kesulitan mengeluarkan dahak
5.      Kemungkinan klien mengatakan adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak disertai nyeri dada.
6.      Kemungkinan ditemukan makanan klien hanya setengah porsi yang dihabiskan
DO:
1.      Klien tampak sakit berat
2.      TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80 mmHg
3.      Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
·   Pulmo: vbs, ronchi (+), wheezing (-)
4.      Pada pemeriksaan lab kemungkinan ditemukan:
·   Mikrobiologi (dari jaringan tulang/abses): Bakteri tahan asam (+)
5.      Pada pemeriksaan diagnostik ditemukan:
·   Foto thorax: corakan paru bertambah
·   Pemeriksaan rontgen: diskus menyempit, lose bone pada tulang anterior, adanya gibus dan deformitas
Data tambahan
6.      Kemungkinan ditemukan klien tampak batuk tidak efektif
7.      Kemungkinan ditemukan pasien terlihat gelisah
8.      Kemungkinan ditemukan sputum berwarna hijau kekuningan
9.      Pada pemeriksaan lab kemungkinan ditemukan:
·   Mikrobiologi (dari jaringan tulang/abses): Bakteri tahan asam (+)
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Peningkatan produksi sekret dan ketidakmampuan batuk efektif
3. 
DS:
1.      Klien mengatakan awalnya keluhan tidak dihiraukannya, tetapi lama kelamaan dirasa bertambah parah
2.      Klien mengatakan bahwa klien bekerja sebagai kuli bangunan
3.      Klien mengatakan tinggal di tempat yang padat dan kumuh serta ventilasi yang kurang
4.      Klien mengatakan pernah berobat kepuskesmas, tetapi hanya diberikan obat analgesik dan antipiretik, dan keluhannya dirasa hanya membaik sementara
Data tambahan:
5.      Kemungkinan klien mengatakan sering keluar keringat pada malam hari
6.      Kemungkinan klien mengatakan adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak disertai nyeri dada.
DO:
1.      TTV:
Suhu: 380C
RR: 28x/m
Nadi: 100x/m
TD: 120/80 mmHg
2.      Pada pemeriksaan lab ditemukan:
·   Leukosit: 17.000 ul
·   LED: meningkat (110mm/jam)
·   Mantoux test: positif
Data tambahan:
3.      Kemungkinan ditemukan tampak pembengkanan di kedua sisi leher klien
4.      Pada pemeriksaan diagnostik kemungkinan ditemukan:
·       MRI
-  infeksi disk  space, menunjukkan perluasan penyakit ke dalam  jaringan lunak dan penyebaran debris tuberkulosis di bawah ligamen longitudinalis anterior dan posterior
-  kompresi neural
Resiko penyebaran infeksi
peningkatan pemajanan lingkungan terhadap pathogen; kerusakan jaringan

3.      Diagnosa Keperawatan
a.       Hambatan mobilitas fisik b.d Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas bawah, kelemahan fisik (anggota gerak)
b.      Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Peningkatan produksi sekret dan ketidakmampuan batuk efektif
c.       Resiko penyebaran infeksi b.d peningkatan pemajanan lingkungan terhadap pathogen; kerusakan jaringan

4.      Intervensi Keperawatan
a.       Hambatan mobilitas fisik b.d Nyeri, paraplegia, paralisis ekstremitas bawah, kelemahan fisik (anggota gerak)
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam klien dapat menunjukan cara melakukan mobilisasi secara optimal sesuai dengan kondisis daerah spondilitis.
Kriteria Hasil : Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, mengidentifikasi individu atau masyarakat yang dapat membantu, klien terhindar dari cidera, nyeri berkurang.
Intervensi:
1)      Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya, dan intensitas (skala 0 ± 10). Perhatikan petunjuk verbal dan non-verbal.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan dan kebutuhan untuk /keefektifan analgesic.
2)      Berikan alternatif tindakan kenyamanan (massage, perubahan posisi).
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
3)      Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contohnya relaksasi progresif, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi dan sentuhan terapeutik.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, mengurangi area tekanan dan kelelahan otot.
4)      Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik.
Rasional: Diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot. 
5)      Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan mobilisasi.
Rasional : membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan untuk kebutuhan individual.
6)      Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
Rasional : klien dalam keadaan cemas dan tergantung sehingga hal ini di lakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien.
7)      Atur posisi fisiologis, meliputi :
a.       Kaji kesejajaran dan tingkat keyamanan selama klien berbaring sesuai dengan daerah spondilitis.
Rasional : memberikan data dasar tentang kesejajaran tubuh dan kenyamanan klien untuk perencanaan selanjutnya.
b.      Atur posisi telentang dan letakkan gulungan handuk / bantal di daerah bagian bawah punggung yang sakit dengan menjaga komdisi kurvatura tulanga belakang dalam kondisi optimal.
Rasional : mengurangi kemungkinan stimulus nyeri, kontraktur sendi, dan kemungkinan untuk pergerakan optimal pada ekstremitas atas.
c.       Sokong kaki bawah yang mengalami paraplegia dengan bantal dengan posisi jari-jari kai mengahadap langit.
Rasional : posisi optimal untuk mencegah footdrop yang sering terjadi akibat kondisi kaki yang jatuh (posisi ekstensi) terlalu lama di tempat tidur. Adanya bantal akan mencegah terjadinya rotasi luar kaki dan mengurangi tekanan pada jari-jari kaki.
8)      Lakukan latihan ROM
Rasional : latihan yang efektif dan berkesinambungan akan mencegah terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot yang sering terjadi pada klien spondilitis TB.
9)      Ajak klien untuk berfikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya. Berika klien motivasi dan izinkan klien melakukan tugas, beri umpan balik positif atas usahanya.
Rasional : klien memerlukan empati, tetapi perawata perlu mengetahui perawatan yang konsisten dalam menganani klien, dan menganjurkan klien untuk terus mecoba.
10)  Kolaborasi pemberian OAT
Rasional : pemberian regimen OAT (Obat Anti Tuberkulosis) sesuai panduan akan mengatasi masalah utama pada klien spondilitis.
11)  Tindakan operatif
Rasional : memberikan stabiltas pada tulang belakang dengan tindakan pembedahan, yaitu pendekatan anterior dengan debridement, eksisi dan fusi anterior, serta pendekatan posterior dilakukan dengan dekompresi dan stabilisasi dengan pemasangan PSSW (Pedicle Screw And Sublaminary Wire Plate)

b.      Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Peningkatan produksi sekret dan ketidakmampuan batuk efektif
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi, akan menjadi peningkatan keefektifan pembersihan jalan nafas dan aspirasi dapat dicegah.
Kriteria Hasil : frekusensi pernapasan dalam batas normal, suara napas terdengar bersih,ronki tidak terdengar, klien menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran napas.
Intervensi:
1)      Kaji keadaan jalan napas
Rasional : Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus, perdarahan, bronko spasme dan atau posisi dari trakeostomi atau selang endotrakeal yang berubah.
2)      Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral)
Rasional : pergerakan dada yang simetris dengan suara naspa yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada pnemonia/atelektasis seperti ronki atau mengi.
3)      Anjurkan klien melakukan batuk efektif.
Rasional : batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas.
4)      Atur/ubah posisi secara teratur setiap 2 jam.
Rasional : mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi resiko atelektasi.
5)      Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan
Rasional : membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
6)      Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret disaluran napas.
Rasional : pengetahuan diharapkan akan membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencanan terapeutik.
7)      Ajarkan klien tentang metode yang tepat tentang pengontrolan batuk.
Rasional :batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif menyebabkan frustasi.
8)      Lakukan pernapasan diafragma
Rasional : pernapasan diafragma menurunkan frekuensi pernapasan dan meningkatkan ventilasi alveolar.
9)      Ajarkan klien tentang tindakan untuk mengurangi viskositas sekresi, mempertahankan hidrasi yang adekuat, meningkatkan asupan cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.
Rasional : untuk menghindari pengentalan dari sekret atau pada mukus pada saluran bagian atas.
10)  Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik serta batuk
Rasional : higiene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
11)  Kolaborasi dengan tim medis, radiologi, dan fisioterapi.
a)      Pemberian mukolitik & ekspetoran
Rasional : mukolitik merupakan agen untuk mobilisasi sekret. Ekspektoran untuk memudahkan pengeluaran atau mobilisasi lendir dan mengevaluasi perbaikan klien atas pengembangan paruya.
b)      Pemberian OAT
Rasional : pemberian regimen OAT sesuai panduan akan mengatasimsalah utama pada klien spondiitis tuberkulosa.
c)      Konsul foto thorak.
Rasional : Sebgai bahan evaluasi hasil pengobatan dan mengidentifikasi komplikasi dari akumulasi sekret yang berbahaya seperti pneumoni aspirasi.

c.       Resiko penyebaran infeksi b.d peningkatan pemajanan lingkungan terhadap pathogen; kerusakan jaringan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan resiko Infeksi berhubungan dengan peningkatan pemajanan lingkungan terhadap pathogen; kerusakan jaringan berkurang sampai dengan hilang.
Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi, suhu tubuh normal, hasil pemeriksaan laboratorium (leukosit, LED) normal.
Intervensi:
1)      Implementasikan teknik isolasi yang tepat sesuai indikasi
Rasional : Isolasi untuk menurunkan resiko kontaminasi silang/terpajan pada flora bakteri multitel
2)      Tekankan pentingnya tehnik cuci tangan yang baik untuk semua individu yang datang kontaak dengan pasien.
Rasional : Mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
3)    Mengkaji patologi penyakit (fase aktif atau inaktif) dan potensial penyebaran infeksi melalui airbone droplet selama batuk, bersin, meludah, berbicara, tertawa,  dll.
Rasional : Untuk mengetahui kondisi nyata dari masalah pasien fase inaktif tidak berarti tubuh pasien sudah terbebas kuman Tubekulosis.
4)    mengidentifikasi resiko penularan terhadap orang lain seperti anggota dan keluarga dan teman dekat. Mengintruksikan kepada pasien juka batuk atau bersin, maka ludahkan ke tissue.
Rasional : Mengurangi resiko anggota keluarga untuk tertular dengan penyakit yang sama dengan pasien.
5)      Menganjurkan penggunaan tissue untuk membuang sputum. Mereview pentingnya mengontrol nfeksi, misalnya dengan menggunakan masker.
Rasional : Penyimpanan sputum pada wadah yang terdesinfeksi dan penggunaan masker dapat meminimalkan penyebaran infiksi melalui droplet.
6)      Memonitor suhu sesuai indikasi.
Rasional : Peningkatan suhu menandakan terjadinya infeksi sekunder.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar